Jakarta: Gerakan lentur dari penari kerap kali dianggap tabu oleh masyarakat, terlebih untuk para penari pria. Salah satunya, Rianto selaku Penari Lengger dan Koreografer Independen.
Rianto telah menari di berbagai daerah di banyak negara. Bahkan pria yang mencintai seni tari sejak kecil ini, tinggal di Jepang dan mempopulerkan tarian tradisional asal Banyumas itu.
Sejumlah orang menilai tabu jika pria menari dengan lentur dan berdandan seperti perempuan. Sedangkan, sebagian orang lainnya menilai hal itu merupakan seni yang seharusnya dipertahankan dari masa ke masa.
Penari sekaligus Professor Universitas Minnesota, Rachmi Diyah Larasati, Ph.D, menyampaikan pandangannya. Namun, ia menekankan bahwa dirinya tak ingin menghakimi apa yang benar dan salah.
“Untuk memahami dan menghormati hak eksplorasi secara ketubuhan merupakan ruang yang patut dihargai dan dihormati. Namun ada juga semacam pemahaman yang bersifat kontekstasi,” ujar Prof. Rachmi dalam diskusi TABU! TABU! TABU! di kanal YouTube Dewan Kesenian Jakarta.
Ia memerhatikan konteks ketubuhan tentang bagaimana Rianto berkarya secara individu dan sosial. Menurutnya, Rianto memiliki sebuah ruang yang luar biasa untuk memahami bagaimana tubuhnya merespons, bereaksi, dan berbicara dalam mempertanyakan hak untuk bergerak juga berekspresi, serta membaca seksualitas.
“Kemudian, hak berpikir dalam artian pengalaman pribadi baik yang bersifat keindahan, tantangan sosial, dan semacam ruang-ruang yang dilahirkan dari relasionalitas dari rasa,” paparnya.
“Bagaimana tari tidak hanya sekedar tubuh yang tampil menari tapi ada sebuah penubuhan tema gerak. Ada eksplorasi rasa dan ritme yang dipengaruhi oleh konteks secara individu,” tambahnya.
Misalnya, kata Prof. Rachmi, mengenai eksplorasi bergerak, mendengarkan suara. Juga berkaitan dengan ingatan-ingatan di masa lalu tentang hubungan Rianto dengan sosok ayah.
Geliat tubuh yang dipancarkan dari karya seorang penari, harus dihargai. Ada hak yang mestinya diutamakan. Namun di sisi lain, hak tersebut juga dikaitkan dengan konteks sosial di tengah masyarakat Indonesia.
Pada gerakan tari Rianto, memancarkan negosiasi antara penumbuhan rasa dari diri Rianto dengan tuntutan sosial. Misalnya, ketika Prof. Rachmi melihat Rianto tampil di festival kebudayaan di Indonesia.
“Itu dipengaruhi oleh konteks kelokalitasan Rianto. Ada semacam bahasa yang menurut saya merupakan sebuah negosiasi, penubuhan konteks eksplorasi rasa, baik yang bersifat individu dan juga tuntutan sosial,” terangnya.
“Bukan berarti salah atau benar. Tetapi hanya mendudukan bagaimana sebuah tradisi dibahasakan di dalam pangggung global dan dimediasi oleh tubuh,” ucapnya.
“Walaupun sebagai penari, tubuh itu didudukkan sebagai ruang yang netral dan eksplorasinya berasal di dalam pengolahan rasa dan inspirasi-inspirasi,” pungkas Prof. Rachmi.